Pagi itu dia sudah terbangun –tepatnya belum tidur sejak semalam. Jadwal meronda dan menjaga poskampling dihiraukan belaka. Kepalanya terlalu pusing untuk mengingat jadwal itu. Sejak semalam termenung seperti orang kesurupan, atau seperti mayat, atau seperti patung. Yang jelas tidak seperti manusia pada umumnya.
Normal
bukan menjadi ketertarikannya sejak dulu. Hidup yang berbeda yang tidak pernah
orang lain tahu. Orang-orang itu menyebutnya sebagai aneh. Di usianya yang
sekarang –ulang tahunnya bersamaan dengan reformasi negara ini—dia sudah
terbiasa dengan segala stigma. Mulai dari kerabat, tetangga, bahkan dari orang
asing.
Kalian akan
mendapati hidup yang seperti itu. Setiap malam terjaga dan murung, setiap siang
tidur, bangun-bangun menyeduh kopi dan menyulut rokok murahan, kemudian terjaga
kembali dan murung. Mengulangi pola setan yang demikian selama bertahun-tahun.
Dan kehidupan semacam itu sangat dekat dengan kalian; bahkan barangkali adalah hidup
kalian sendiri.
Tapi pada
suatu siang, dia memperoleh sebuah pemikiran. Seperti semangat yang baru.
Pikiran itu muncul bukan dari tempat yang suci, bukan pula dari perbuatan mulia
seperti berpuasa. Pikiran itu muncul dari rutinitas berak di siang hari sambil
merokok di jamban.
“Pasti
pikiran ini bukan dari Tuhan,” pikirnya. “Pasti dari iblis di kamar mandi ini.
Mungkin juga dari onggok tahi di dalam lubang ini.”
Biasanya,
setelah keluar dari kamar mandi dia akan melupakan apa yang terjadi di
dalamnya. Tetapi siang itu berbeda, dia
masih mengingat pikiran itu. Sampai dia menuliskan agar tidak lupa. Pikiran itu
berbunyi begini:
Tidak pernah ibadah tetapi minta kepada Tuhan dengan
serakah.
Wajahnya
menjadi lebih murung dari biasanya. Dia tidak sanggup untuk menyangkal pikiran
itu. Benar juga, batinnya. Dan
hari-hari yang dijalani dengan pikiran yang tidak bisa dilupakan, menjadi lebih
buruk dan mengerikan.
Ini bukan
kisah tentang seseorang, yang menemukan hidayah dari kegiatan berak di kamar
mandi, mendapat bisikan dari Tuhan, kemudian bertaubat dengan mudah. Orang itu
makin tenggelam dalam ketersesatan tanpa batas. Gelap dan hitam, lebih hitam
daripada bulu jembut yang banyak.
**
“Kamu tidak
mau bekerja?” tanya seorang teman.
“Buat apa
bekerja? Maksud saya, buat apa bekerja di negara ini?”
“Sial!
Untuk menghidupimu, lah! Buat apa lagi?”
“Bodoh!
Saya sudah hidup meski tanpa bekerja!”
“Kalau kamu
menikah, anak dan istrimu mau kamu kasih makan apa?”
“Itu urusan
nanti. Pun jika ada yang mau menikah dengan saya. Jika Tuhan masih berbaik hati
kepada pendosa ini, terus memberi anugerah berupa anak.”
“Omong
kosongmu berlebihan.”
“Tidak.
Kurasa tidak. Kamu pasti lupa, kalau kita sedang hidup di Indonesia.”
“Karena
hidup di Indonesia menjadikanmu seburuk ini?”
“Entahlah,
saya hanya tersesat.”
“Bukankah
kamu pernah bilang, kalau ikan koi terbaik dapat muncul dari kali terburuk?”
“Saya tidak
sedang ingin menjadi ikan koi.”
“Astaga!
Saya ngomong denganmu seperti ngomong dengan batu!”
“Saya
berharap segera ada petir menyambar di siang bolong ini, kemudian saya
benar-benar menjadi batu.”
Temannya
beranjak dengan muka kesal. Dia menahan temannya itu, bertanya mau ke mana.
Temannya menjawab bahwa dirinya lebih baik memikirkan tentang kelanjutan hidup
daripada berbicara dengannya. Dia bertanya kenapa. Temannya menjawab lagi bahwa
kalau berbicara dengannya seperti memikirkan tentang mengakhiri hidup.
“Kamu kok
seperti itu?” tanyanya. “Seperti banyak masalah yang rumit.”
“Bangsat!
Saya tidak bermasalah! Kamu yang sedang mempunyai masalah yang rumit!”
**
Dia sedang
mengejar anak kodok di sebelah sawah tebu. Di sebuah sungai kecil yang
berlumpur. Kakinya sangat kotor, celananya juga, tapi tidak lebih kotor dari
perilakunya selama ini. Anak kodok yang tertangkap sudah dapat dipastikan
itulah ajalnya. Mereka akan digunakan sebagai umpan memancing olehnya.
Setelah
dapat selusin dia menghubungi teman yang kemarin.
“Apakah
kamu di rumah?”
“Silakan
kalau mau mancing.”
Orang itu
sudah paham untuk apa dia menghubungi. Kalau tidak memancing atau mengajak ke
kedai kopi. Tidak ada hal yang sangat luar biasa. Semuanya berjalan dengan amat
sederhana.
Beberapa
bentar dia sudah sampai di rumah temannya. Tampak adik perempuan temannya yang
baru saja mandi, hanya memakai handuk menutupi dada dan lainnya. Demi
kesopanan, dia seolah tidak melihatnya. Percayalah, sampai selesai memancing di
kolam temannya pada pukul lima sore, dia masih terngiang bagaimana bentuk dan
lekuk dalam handuk tadi.
“Ikannya
saya bawa pulang.”
“Bawa
saja.”
Keesokan
harinya dia datang lagi untuk memancing. Besoknya lagi juga datang lagi.
Besoknya lagi berturut-turut sampai nyaris satu tahun dia selalu datang.
“Orang ini
benar-benar putus asa,” pikir temannya.
**
Kebetulan
saja temannya merasa iba. Ketika hendak pamit pulang dan membawa ikan hasil
pancingan, temannya mengajaknya untuk berbicara. Cukup berlebihan memang,
menunggu nyaris satu tahun untuk sekadar tahu mengapa dia menjadi begini.
“Kamu ini
kenapa? Ada masalah?”
“Tidak ada,
mungkin kamu yang malah punya masalah. Kamu tidak ingat terakhir kali kita
duduk di sini? Kamu seperti orang yang diburu mati.”
Temannya menahan
marah sebentar. “Sudahlah! Ceritakan apa masalahmu. Kalau kamu begini terus,
kamu akan terus membuat saya repot!”
“Bukankah
sudah saya bilang kalau kamu yang memiliki masalah. Mengapa kamu harus repot
gara-gara saya. Padahal saya tidak repot karena kamu.”
“Cok! Kamu itu
sudah menghabiskan seluruh ikan dalam kolam saya! Dan tetap memancing meski di
kolam itu hanya ada air! Saya sudah rugi 32 juta rupiah gara-gara ulahmu
setahun ini! Sekarang katakan apa masalahmu?!!!”
“Sudah
kubilang! Saya tidak memiliki masalah! Semua berjalan dengan wajar di negara
ini! Setiap saya mencoba bekerja, saya akan langsung ditolak bahkan sebelum
berkas lamaran saya dibaca. Setiap saya menulis, redaktur penerima tulisan saya
akan langsung menghapusnya. Bahkan setiap saya mau melakukan apa saja, setiap
orang akan langsung menyalahkan saya. Bukankah semua itu wajar dan biasa? Bukan
masalah.”
“Astagfirulloh...”
Temannya mengelus
dada. Tidak bergerak, dan, mungkin tidak bernapas.
“Kenapa
kamu? Halo??? Jangan begini, jangan putus asa begitu. Kalau ada masalah tolong
ceritakan kepada saya. Kamu sudah membantu saya dalam masa-masa putus asa
dengan membolehkan memancing di kolammu.”
“Astagfirulloh...,”
ternyata temannya masih bernapas.
“jangankan
Tuhan, saya sebagai manusia saja jengkel dengan orang putus asa.”
“Astagfirulloh...”
//
0 Comments