Saya ingin bilang, “Yang Anda persulit adalah anak yang
dibesarkan dengan kesusahan oleh orang tuanya.”
Pada sebuah kampus antah-berantah, seorang mahasiswi
ditiduri dosen pembimbingnya agar mendapat tanda tangan. Pada sebuah kampus
antah-berantah lainnya, seorang mahasiswa mengecewakan hati orang tua karena
dosen pembimbing terlampua mirip Dajal.
Barangkali kabar di atas hanya fiktif belaka. Namun saya
tahu benar, dosen pembimbing selalu mendapat anggapan kurang menyenangkan.
Pagi ini saya menunggu di depan kantor fakultas untuk
kedatangan dosen pembimbing. Dia datang setelah saya menghabiskan dua jam lebih
empat belas menit di kursi itu. Dosen itu langsung masuk ke ruangan, tanpa
menoleh, apalagi menyapa. Tidak ada dewa yang sudi bersopan-sopan dengan hamba
biasa, kan?
Namun saya agak lega. Kemudian ikut masuk juga. Menyapanya,
mengatakan tujuan menemui, dan menyerahkan berkas yang pada pertemuan
sebelumnya telah dihabisi tanpa ampun, dalam kata paling sopan: ditolak
mentah-mentah.
Dosen itu tidak memberi kejelasan tentang apapun yang
disalahkan. Hanya dicoret dengan tanda silang super besar.
Sebenarnya saat itu saya sudah mulai muak. Ingin memaki apa
saja. Namun ada seseorang di rumah yang membangkitkan saya. Juga seseorang di
sebuah sudut di kota ini yang tetap memberi semangat.
Baik, saat itu saya bangkit.
Namun kali ini, pagi ini, dia bersikap serupa. Melanggar segala
anjuran yang disampaikan olehnya pada pertemuan sebelumnya! Dosen pembimbing adalah
satu jenis makhluk Maha Plin-Plan tiada tertandingi! Terutama dosen pembimbing
saya.
Yah, saya sekarang sedang marah. Tidak terima. Dan sebenarnya
ingin mendoakan dosen pembimbing itu agar segera bertaubat dengan
sungguh-sungguh. Tapi harapan baik itu digempur oleh perilakunya barusan yang
masih terngiang-ngiang.
Lagi-lagi dia tolak mentah-mentah –untuk tidak menyebut
mencaci dan menghina.
Kuliah yang mahal, dengan prosedur formalitas yang
dipersulit, untuk mendapat titel yang entah gunanya apa, ditambah dengan air
mata dan sakit hati.
Baik, andai saya telah tidak memiliki pikiran waras, bahwa
ada orang tua yang menanti kelulusan, sudah saya luapkan segalanya dengan amat
tidak sopan.
Saya masih tersenyum. Bersikap paling sopan dengan bahasa
paling lembut. Tentu saja tidak lupa mengucap terima kasih sebelum pamit keluar
kantor fakultas.
Oya, satu hal lagi: semoga dosen itu tidak memiliki anak
yang hendak lulus kuliah dan dipersulit oleh dosen pembimbingnya, atau,
setidaknya, dia tidak percaya apa itu karma. Aamiin.
Dokumen pribadi (sebelum saya bakar) |
0 Comments