(Puisi untuk orang-orang, yang sering berkumpul bersama di
organisasi, di kelas, di kontrakan, atau di mana saja yang masih satu
perjuangan, kemudian ditinggal wisuda. Masa-masa makin kompleks masalah hidup
dan masalah rasa akan datang lagi ketika hendak lulus kuliah. Mari dengarkan
puisi yang ditulis oleh seseorang yang senasib denganmu.)
Bagaimana rasanya ketika bertanya pada teman tentang
skripsinya, kemudian dijawab masih sampai judul, lalu pada besoknya dia sidang,
disusul teman-teman yang lain, yang juga sidang, seolah-olah benar-benar belum, menyentuh skripsi sama sekali?
Rasanya seperti berada dalam rumah, yang memiliki ikan untuk
lauk makan, tapi kau hanya memperoleh nasi dan garam, sebab ibu bilang, “Adanya
lauk cuma ini.”
Rasanya seperti berada di tengah kerumunan, yang berencana
mengikatmu di tangan dan kaki, dan menaruh pemberat dengan tali, kemudian
menceburkanmu ke laut paling dalam di negeri ini, sendirian.
Rasanya seperti ketika kau menulis sebuah novel panjang,
mengorbankan segala selain menulis, menunggu hingga nyaris setahun, kemudian
dapat satu-satunya kabar bahwa naskah itu ditolak.
Rasanya seperti ingin segera memenggal kepala tiap manusia
yang sedang berbahagia. Mengunyahnya mentah-mentah. Membuat dunia ini banjir
darah.
Rasanya seperti ingin ‘Kembali ke Rahim Ibunya’ atau berlari
seperti kuda binal ‘biar peluru menembus kulitku’ hingga ke ujung dunia dan meloncat
ke ruang tanpa nama.
Rasanya seperti dikelilingi orang-orang yang memberi pujian
dan tepuk tangan, namun menyiapkan racun dan pisau jika yang pertama belum bisa
membuatmu mati.
Rasanya seperti dosen pembimbing, yang berjanji bertemu
besok pagi, yang ditunggu empat jam di depan kantor jurusan, ternyata yang
diharapkan tidak datang, malah sibuk memancing di kolam orang.
Rasanya seperti ini, ingin menulis sesuatu, tentang hal-hal
yang bersifat pesimistis. Dan tidak akan ada yang membaca atau mendengarnya.
Rasanya seperti Cleopatra bangkit dari kubur. Kembali jadi
cantik jelita. Menyeberang laut dan samudra. Berjalan jauh dengan perjuangan
luar biasa untuk menemuimu, hanya untuk menggorok lehermu.
Rasanya seperti presiden negeri ini, berpidato yang didengar
seluruh negeri, tentang kau yang malas, malah menyalahkan orang-orang.
Rasanya seperti temanmu kerasukan, kemudian jin di dalam
tubuhnya mengumpat, padamu, “Jauhkan dia! Aku jijik padanya!”
Rasanya seperti anjing, yang menggonggong, yang lebih
disukai semua manusia, dibanding ketika kau, membaca puisi.
Rasanya seperti sulur pohon, mengikat tubuh dan jiwa,
memberi tahu timbunan dosa, dan kau tenggelam di akarnya, menjadi pohon baru
yang ditebang, untuk membuat nisan, untukmu.
Rasanya seperti iblis, yang menghunus trisula merah menyala,
padahal kau kira dia adalah teman, dan kau takhluk pada doa dan air mata, di
malam yang legam, mirip hidup, mirip nasib, mirip semua tentangmu yang hanya
berisi keburukan, kau menyadari sebab, dan ternyata sangat terlambat.
Rasanya seperti mata bunda, yang menangis di depan matamu,
karena kau anak yang sia-sia, tidak mampu menyenangkan hati mereka, memenuhi ingin orang
tua.
Rasanya seperti, tidak berasa sama sekali, hilang rasa,
hilang asa.
TA, 09072019
2 Comments
Ikut berduka cita
ReplyDeleteSeharusnya bersuka cita. Sebab kesedihan tidak akan menjadi kesedihan jika kita melihatnya dari sudut lain.
ReplyDelete