Sekolah itu Candu
Judul asli buku ini hanya satu kata: SEKOLAH!. Dan memang
seluruh isinya membahas tentang sekolah.
Baik, kita luruskan dari awal. Jika kalian mendengar atau
membaca kata ‘sekolah’, maka apa yang sedang membayang di pikiran kalian?
Apakah gedung, mata pelajaran, ranking, rapor, kelas, seragam, proyek, atau
perusahaan?
Jika demikian, cobalah membalikkan anggapan kalian tentang
sekolah dengan membaca buku ini.
Dari penerbit, buku ini pertama kali terbit pada 1998.
Setahun setelah saya lahir di dunia yang membosankan ini. Saya dapat satu
eksemplar cekatan 12 yang diterbitkan pada 2013. Lihat! Betapa belum habis
dibahas dan masih diminati tulisan-tulisan Roem Topatimasang ini.
Pengantar ditulis oleh Roy Tjiong, Ketua Dewan Pengawas
INSIST 2005-2008. Ya, buku ini diterbitkan oleh INSISTPress.
Saya bosan menuliskan identitas buku pakai tabel seperti
sebelum-belumnya. Baiknya saya coba cara lain, menulis dengan narasi dan
deskripsi. Biar tulisannya makin banyak, sebab saya selalu kikuk menulis beberapa
kalimat secara terus-menerus.
-
Baca juga:
-
Halaman selanjutnya adalah maklumat yang ditulis dengan
‘cantik’ oleh Ketua Dewan Pendidikan INSIST 2005-2008. Yang kalimat terakhir
membuat saya tertawa:
“...Yang jelas, semua isi tersurat maupun tersirat buku kecil ini menjadi tanggung jawab yang empunya tulisan sendiri, termasuk atas penyelewengan kalau isi dan makna buku kecil ini ternyata tidak mampu memenuhi tujuan utamanya: membuat Anda tersenyum dan tertawa! Jadi, HARAP MAKLUM lah!”
Kalimat itu mengantar saya pada isi yang akan habis pada
halaman 121. Rasa penasaran dan banyak sekali yang membahas pendidikan dengan
rujukannya adalah Roem Topatimasang –selain Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire—membuat
saya benar-benar ingin cepat menuju isi.
Saya baru mendapat eksemplar buku Sekolah itu Candu belum
lama ini. Jika ulasan ini sangat terlambat, maka HARAP MAKLUM lah!
Dokumen pribadi |
Buku ini tidak hanya berisi tulisan. Ada juga ilustrasi yang
sangat menggelitik sekaligus membuat kita tersenyum masam. Sebuah satir elegan.
Pada setiap tulisan, ada catatan kaki. Seperti yang ditulis di ‘MAKLUMAT’: ...catatan-catatan kaki dalam semua tulisan,
bukan agar ‘tampak ilmiah’... tapi lebih sekadar penjelasan tentang
sumber-sumber rujukan dan latar-belakang permasalahan di balik gagasan-gagasan
pokok yang tertuang dalam seluruh kumpulan tulisan ini.
Sebelum pagian pertama, kita akan dihibur yang membuat saya
tercengang.
Prolog: Sekolah Masa Lalu
Dokumen pribadi |
Saya kira di dalamnya berisi esai yang kaku. Nyatanya tidak.
Sama sekali tidak. Beberapa waktu saya jadi ingat tulisan Mahbub Djunaidi,
Bandung Mawardi, atau satir dari Abdurrahman Wahid.
Esai Roem di buku ini naratif. Prolog berbentuk cerita yang
unik. Bagaimana tidak, awal kalimat dibuka dengan “Tahun 2222...”
Dan saya membayangkan pada 1998 menulis tentang pendidikan
(dan sekolah) pada tahun 2222. Hal ini bisa disimpan dahulu, ini adalah
anggapan awal saya tentang isi di tulisan selanjutnya.
Sekolah Masa Lalu menceritakan seseorang yang berada di earthscraper (pencakar bumi) di bawah
tanah lantai -20 (minus dua puluh) di sebuah Museum Bank Naskah Nasional
menemukan buku lawas. Lelaki itu membersihkan debu dan melihat-lihat fisik buku
tersebut.
Lagi-lagi saya dibuat terpingkal ketika lelaki itu membaca
amaran resmi di bawah judul:
DILARANG KERAS MEMBACA, APALAGI MEMPERBANYAK DAN ATAU MENYEBARLUASKAN BAHAN BACAAN INI. BARANGSIAPA YANG TERTANGKAP BASAH MEMBACA, MEMPERBANYAK DAN MENYEBARLUASKAN, APALAGI MENCOBA MENGHAYATI DAN MENGAMALKAN ISI DAN MAKNANYA YANG JELAS-JELAS MENGANDUNG RACUN BAGI PIKIRAN DAN PERASAAN, MAKA ORANG ITU DIANCAM HUKUMAN WAJIB BELAJAR DI KAMP RE-EDUKASI SELAMA JANGKA WAKTU TAK TERBATAS SAMPAI IA MENYATAKAN DIRI BERTOBAT DAN DINYATAKAN TELAH SUCI KEMBALI ISI OTAK DAN HATINYA DENGAN PEMBUKTIAN ‘SURAT KETERANGAN BEBAS PIKIRAN & PERASAAN SESAT’ (SKBPPS) DAN ‘SURAT TANDA LULUS UJIAN SIDANG’ (STLUS) DARI MAJELIS SENAT & GURUBESAR LEMBAGA PEWARISAN DAN PELESTARIAN NILAI-NILAI LUHUR BANGSA (LEMWARLESNILHURBANG), SESUAI DENGAN KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERLAKU DAN DIBERLAKUKAN... (hlm. 3)
Catatan kaki di setiap tulisan, bahkan di epilog ini,
menjadikan tulisan makin menarik. Serius sekaligus satir yang menggelitik. Dan
tampaknya bukan hanya diada-ada hanya dengan bekal imajinasi semata.
Seorang penulis selalu memiliki bahan bacaan yang luas dan
unik. Entah dari buku atau apa saja. Misalnya H Niskala si manusia tidak bisa
lupa, atau Eka Kurniawan yang saya langganan blognya, atau Pramoedya dengan
kliping dan arsip yang mengagumkan.
Hal-hal unik dari pembacaan itulah yang hendak disampaikan
dalam tulisannya. Sampai di sini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
Roem Topatimasang penulisnya dan INSISTPress yang telah istikomah menerbitkan.
Bagian 1, Sekolah: dari Athena ke Cuernavaca
Dokumen pribadi |
Roem melacak penggunaan kata ‘sekolah’. Hingga penyelewengan
dari asal-muasalnya. Pisau analisis yang digunakan tajam, serta pembaca diberi
ruang untuk mencari tahu (lebih dalam) tentang apa yang dibahas melalui catatan
kaki.
“Padahal, dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae, atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Nah, apa dulunya tak terjadi kekeliruan pada Si Jan atau Si Jack yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan ‘school’, yakni asal mula kata ‘sekolah’ dalam bahasa kita sekarang?” (hlm. 5)
Pembaca, yang mungkin telah menempuh sekolah mulai dari
Taman Kanak-Kanak hingga (mungkin) perguruan tinggi, mulai waspada dengan
kalimat selanjutnya. Jangan-jangan sekolah yang selama ini diperjuangkan dengan
keringat dan air mata (terutama saat kuliah) adalah sia-sia belaka.
Ternyata tidak. Roem menarik alur ke Yunani Kuno, yang
memanfaatkan waktu luang atau skhole,
scola, scolae, schola itu untuk belajar. Nah, waktu luang itu dimiliki oleh
anak-anak. Namun orang-orang tua dari mereka sibuk, oleh karena itu, anak-anak
yang memiliki ‘waktu luang’ dikirim atau dititipkan ke orang yang ‘tahu’.
Lama kelamaan menitipkan anak-anak yang memiliki ‘waktu
luang’ ke orang ‘tahu’ menjadi sistematis. Anak-anak itu akan kembali bekerja
sebagai orang dewasa setelah mendapat keahlian dari belajar itu.
Saya mengira Yunani Kuno adalah bangsa satu-satunya yang
memulai pembelajaran begitu. Tapi –seakan Roem mengerti apa yang dipikirkan
pembaca—dijelaskan kemudian bahwa masih ada yang lainnya.
“Konon, bahkan sebelum Socrates dan muridnya, Plato, menyelenggarakan academia atau lyceum di Athena, bangsa Cina Purba kabarnya juga sudah memulainya pada 2000 tahun sebelum Yesus lahir... Juga, kaum Brahmin India sudah membangun ‘Sekolah-Sekolah Veda’ mereka setengah abad sesudahnya... Pun, nenek moyang kita di Nusantara memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari tradisi anak benua India (ashram) dan kemudian juga dari tradisi jazirah Arab (madrasah).” (hlm 8-9)
Begitulah Roem dengan mahirnya. Saya dibuat hanyut! Dan dia
masih belum puas juga. Dari penjelasan bahwa sekolah hanya berasal dari mengisi
waktu luang, menjadi sistem kelembagaan yang ada celakanya juga.
Roem mengatakan, “Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah
yang teramat penting untuk memahami dinamika semua lembaga kemasyarakatan...”
Jika mengaca pada pendidikan di Indonesia sekarang ini
(2019) secara umumnya sekolah formal, adalah warisan dari sekolah kolonial
berkat etische politiek. Digabung
dengan kelembagaan yang sistematis, membuka peluang besar bahwa pendidikan
menjadi komoditas.
Bagian 1 ini ditutup dengan paragraf dari salinan naskah
Deklarasi Cuernavaca 1971:
“...apakah kita sedang bergerak ke arah pendidikan yang diperluas dan menyusun rencana dengan gagasan bahwa perkembangan individu adalah suatu praxis, ataukah kita justru sedang menuju ke arah scolae dalam arti kata yang sesungguhnya?”
Tulisan yang diberi keterangan: LEDENG, 2 Mei 1980 nyatanya
masih sangat relevan dibaca sekarang.
Saya tidak mau berhenti hanya pada bagian pertama. Pagi ini
sudah habis 3 batang Surya 12, sebotol Kopikap, dan segelas kopi bubuk biasa. Seharusnya
sekarang jadwal saya berak, saya tidak mau mengundur jadwal itu, sehingga saya
baca bagian 2 sambil mengangkangi kakus.
Bagian 2, Sekolah Di Sana-Sini
Dokumen pribadi |
Bagian ini lebih membahas pada sekolah-sekolah yang tidak
terkenal, padahal dalam lembaga itu menghasilkan para pakar. Roem mengambil
Universitas Rockefeller, New York.
Selain itu, juga Akademi Jakarta, Akademi Perancis, Ilmu
Pengetahuan Swedia, Akademi Ilmu dan Seni Gambar Hidup, Sekolah Frankfrurt,
Sekolah Durkheim, Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sekolah Pamong,
Sesame Street School, Sekolah Gelandangan, School
Without Walls, Sekolah terbuka, dan lain-lain dan lain-lain.
Meskipun tidak terkenal, tidak populer, tidak diminati,
bahkan tidak diketahui kebanyak orang, adalah sekolah yang benar-benar sekolah.
Yang sebagian malah tidak memiliki gedung sekolahan. Bukan karena tidak mampu
mendirikan atau menyewa, ini selaras dengan judul: Sekolah Di Sana-Sini, tapi
esensi dari sekolah tidak melulu gedung semata.
Dijabarkan dengan jelas oleh Roem. Tentu dengan catatan kaki
yang membuat bahasan di tulisan semakin jelas. Saya kagum dengan Roem, dia bisa
menggabungkan antara serius dengan humor.
Akhir tulisan di bagian 2:
“Maka, tak perlu sewot amat kalau ada montir bengkel yang benar-benar jagoan kemudian membikin Sekolah Mengemudi. Atau, seorang pakar penjinak binatang yang sungguh piawai kemudian mendirikan Sekolah Anjing...” (hlm. 21)
Bagian 3, Seragam Sekolah
Dokumen pribadi |
Saya selesai berak, dan saya ingat beberapa waktu lalu di salah satu kampus di
Tulungagung ada seorang mahasiswi yang dianggap sebagai anggota kelompok ISIS.
Sehingga tersebar isu bahwa di kampus tersebut dilarang memakai cadar.
Nyatanya, jauh sebelum hal itu terjadi, pada 1984 terjadi
masalah tentang jilbab. Roem menyertakan arsip dari surat kabar Tempo, Februari
1984 dengan judul: Lagi, Soal Jilbab.
Awal tulisan di bagian ini membahas tentang ketertarikannya
pada perempuan dengan seragam sekolah. Saya tidak terlalu ambil perhatian,
entah orientasi seksual Roem atau hanya sekadar seleranya saja.
“Bagi saya, sederhana saja: mau berseragam atau tidak, terserah! Buat saya, biarlah perkara ini jadi urusannya para perancang mode, toko busana, dan salon kecantikan. Ada apa pula urusannya dengan urusan sekolah?” (hlm. 25)
Roem juga mengambil kutipan dari sajak Bersatulah
Pelacur-Pelacur Kota Jakarta. Barangkali memang inilah keahlian Roem, membawa
satu topik dalam bahasan satu hal digabungkan dengan bahasan satu hal lainnya
yang seolah-olah tidak terkait. Tanpa keluar dari lingkaran fokusnya.
Selain membawa sajak Rendra, Roem juga membawa karya puncak
Eric Arthur Blair (George Orwell) pada penutup bagian 3.
“Dan, itulah yang lebih membuat saya pusing tujuh keliling: pakaian seragam, mata pelajaran seragam, bahasa dan cara bicara seragam, tingkah-laku seragam dan, lama kelamaan, wajib seragam pula isi kepala dan isi hati mereka! Eh, omong-omong, saya kok tiba-tiba ingat sama orang yang namanya George Orwell?! Masya Allah.... Nineteen Eighty Four itu ‘kan sekarang, ya?!”
Tulisan itu diberi keterangan: ROXY, 1 Januari 1984.
Ya, ya, benar, Pak Roem. Kalau saya jadi ingat orang yang
namanya Jeje. Masya Allah.... Doa Sejuta Umat.
Bagian 4, Dirikanlah Sekolah!
Dokumen pribadi |
HAHAHAHA...
Maaf, saya tertawa keras sekali. Saya nyaris keliru membaca
judul itu sebagai ‘Dirikanlah Salat’.
Sebagian besar tulisan pada bagian 4 adalah percakapan dua
orang lelaki di kedai kopi. Salah satunya adalah seorang pensiunan kantoran.
Satunya lagi seseorang yang membei saran. 7 halaman di buku itu (semoga) berhasil saya
tarik benang merah (dan tidak keliru) antara inti tulisan dengan judul: bahwa orang pensiunan itu
hendak mendirikan sekolah.
Roem membuka tulisan dengan kutipan dari seorang penulis
pamflet sosial dan drama komedi yang lebih bernada sengak: George Bernard Shaw.
“He who can, does! He who cannot, teaches! He who cannot teach, takes up research! He who fails at all of these, writes textbook! (Dia yang bisa, kerjakan! Dia yang tak bisa, ajarkan! Dia yang tak bisa ngajar, bikin penelitian! Dia yang gagal dalam semua itu, tulis saja buku pelajaran!)” (hlm. 30)
Kemudian di bagian akhir, candaan sengak itu diganti
menjadi:
“He who can, does! He who cannot, teaches! He who cannot teach, builds school! (Dia yang bisa, kerjakan! Dia yang tak bisa, ajarkan! Dia yang tak bisa ngajar, dirikan sekolah!)” (hlm. 37)
Percakapan selama 7 halaman dari dua orang yang salah
satunya hendak mendirikan sekolahan dengan pembagian uang yang jelas dan
promosi dan lain-lain. Kalian mesti membaca percakapan itu, beli bukunya, dan
nikmati sendiri Roem mengatur tulisannya.
Sebenarnya tingkat naratif tulisan ini lebih besar saya kira
dibanding sebelumnya. Seakan esai ini benar-benar cerita. Atau mungkin malah
cerpen esai, mirip seperti yang pernah meledak puisi esai yang kontroversial
itu?
Bagian 5, Sekolah & Perusahaan
Dokumen pribadi |
Saya tertarik pada gambar di sebelah judul. Seorang pendidik
yang sedang melakukan proses pembelajaran yang kepalanya diganti dengan segepok
uang 100.000 rupiah lengkap dengan gambar Soekarno-Hatta.
HAHAHAHA...
Oke, saya tidak paham dan tidak lagi coba-coba merumuskan
jenis tulisan apa di buku ini. Yang jelas tulisan di sini: bagus!
Sekolah & Perusahaan –sama seperti bagian sebelumnya—didominasi
oleh percakapan. Kali ini oleh seorang kepala sekolah swasta dengan seorang
guru stafnya.
Membicarakan tentang koran yang selalu mengabarkan hal buruk,
barangkali bad news is good news
masih laris. Terutama ketika awal
tahun pelajaran baru.
Si kepala sekolah swasta terus sambat kepada guru stafnya itu. Tentang buruknya pelayanan dan
segalanya di lembaga-lembaga sekolah yang ditulis di koran. Saya penggalkan
satu percakapan paling akhir dari mereka berdua:
“Illich. Ivan Illich, Pak.”
“Baru dengar...! Oh ya, apa katanya?”
“Ya, seperti kata Bapak tadi.”
“Iyaaa.... apa?”
“Mmmm... maaf, Pak. Katanya, sekolah-sekolah di zaman modern ini memang dikelola sebagai suatu perusahaan....”
“Nah, ‘kan?”
“Ya... dia juga bilang karena sistem sekolah yang ada sekarang ini pada dasarnya memang sudah menuntut pengelolaan semacam itu. Malahan, katanya, sekolah-sekolah zaman sekarang ini sudah menjadi majikan besar dan paling anonim dari semua majikan....”
“Nah, redaktur-redaktur koran mesti baca itu buku, biar ‘nyaho!”
Bagian 6, Sekolah Anak-Anak Tenda
Dokumen pribadi |
Ilustrasi oleh Ade Irawan, 2007. Benar-benar membuat miris.
Kalian bisa melihatnya sendiri.
Salah satu catatan kaki dari Erich Fromm tentang
pandangan-pandangan psikoanalisa kontemporer lebih kerucut lagi tentang
kecenderungan kejiwaan untuk lebih mencintai kekerasan dan segala yang berbau
kematian (necrophily) barangkali
cocok dibaca untuk teman saya, Asri S.
Bagian ini bercerita tentang pendidikan di Palestina.
Seorang bernama Jane, dari New York, tergerak hatinya untuk memberi pendidikan
yang wajar untuk anak-anak di tenda-tenda di Palestina.
“...ia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana anak-anak Palestina yang masih bocah telah dijejal dengan slogan-slogan revolusi dan hasutan semangat kesyahidan (martirdomship) yang berlebihan... anak-anak itu diajari kemampuan membaca, menulis, dan berhitung ala kadarnya saja. Selebihnya adalah membaca pamflet-pamflet gelap dan puisi-puisi bawah-tanah, menyanyikan lagu-lagu perlawanan dan mengarang cerita atau sajak penuh letupan.” (hlm. 47)
Dalam bagian ini juga ada sajak-sajak dari pembacaan puisi
Palestina oleh penyair-penyair Indonesia dan juga dari kata pengantar Ketua
Dewan Kesenian Jakarta, 1982, Abdurrahman Wahid.
Roem mengubah alurnya yang semula dalam percakapannya dengan
Jane tentang anak-anak Palestina.
“Dan, sekarang kau di sini, Jane?”
“Untuk tujuan yang sama, Tuan-tuan.”
“Tapi di sini tak ada perang, dan ini bukan Palestina, Jane?” (hlm. 48-49)
Saya berdiam sebentar. Jane yang seorang pendidik untuk
daerah-daerah perang hendak melakukan kerja yang serupa di Indonesia. Tapi di
Indonesia tidak ada perang, kan?
“Saya kira Anda tak akan berkeberatan dan bisa sependapat dengan saya bahwa sebenarnya di sini pun masih banyak kanak-kanak yang mengalami nasib serupa dengan kanak-kanak Palestina, dalam bentuknya yang lain, tentu saja.” (hlm. 49)
Saya berdiam lagi. Tubuh saya agak dingin dan saya tidak
bohong. Kemudian Jane jelaskan, bahwa banyak sekali anak-anak di Jakarta yang
tidak sekolah untuk membantu pekerjaan orang dewasa, bahkan di desa-desa
keadaan lebih buruk.
Percakapan dengan Jane ditutup dengan sangat menggantung.
“Apa itu justru tidak lebih baik bagi mereka, Jane?”
JANE MEMINCINGKAN MATA SEJENAK, MENGERUTKAN DAHI, DAN AKHIRNYA CUMA ANGKAT BAHU SAMBIL TERSENYUM.
(SAYA TAK TAHU APA ARTINYA ITU SEBAGAI SUATU JAWABAN DAN APA SEBENARNYA YANG ADA DALAM BENAK JANE...) (hlm. 49)
Bagian 7, Sekolah Anak-Anak Laut
Dokumen pribadi |
Tisu! Mana tisu! Bangsat!
Pada bagian 7, Roem menceritakan kisah yang saya rasa cerita
sedih! Tanpa memasukkan humor sama sekali!
Itulah kisah kanak-kanak di SD Mantigola yang saban pagi,
dan siang, mesti menjemput, dan mengantar pulang, gurunya. Dan itulah cerita
tentang mereka yang dihukum dengan bahagia, untuk mencari ikan, di salah satu
laut terdalam Indonesia, Laut Banda.
Narasi yang dibawa amat elok. Ada juga kritik terhadap
pembuat kebijakan. Dan topik pembahasan makin kompleks. Akan saya kutip puisi
di bagian akhir dari tulisan ini.
Ahaaa....! kalian
anak-anak laut
yang berumah di laut
bertulang lunas perahu
berurat akar-bakau
bernapas uap garam
kalian telah terlatih
lebih daripada apa yang bisa diajarkan oleh sekolah
untuk mengetahui apa bedanya
antara ombak dengan gelombang
antara arus dengan alir
antara angin dengan badai
antara pertanda dengan kejadian.... (hlm. 58)
Bagian 8, Robohnya Sekolah Rakyat Kami
Dokumen pribadi |
Saya langsung teringat judul buku, Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Pasti cerita sedih, lagi.
Diceritakan kembali, sebuah sekolah rakyat, yang lekat dan
kental dengan budaya dan kerja sosial. Kemudian digusur dan dibangun gedung
baru yang dianggap ‘layak’ untuk bersekolah.
“Sekolah memang sudah bukan lagi miliknya el pobresiado, kaum yang terlunta-lunta, rakyat jelata! Lihat saja, nama ‘Sekolah Rakyat’ pun dihapuskan. Sebaliknya, sekolah kini menjadi milik dan alat dari satu kekuatan raksasa yang –atas nama dengan label-label ‘demi pembangunan, industrialisasi, modernisasi, globalisasi’... siapakah kekuatan besar itu?” (hlm. 65-66)
Dan benar saja, ini bukan tulisan jenaka.
Bagian 9, Involusi Sekolah
Dokumen pribadi |
Bagian 9 bukan tulisan yang pendek dan ringan. Banyak
permasalahan dalam pendidikan nasional yang dibahas. Dan masalah-masalah itu
makin pelik dan muncul masalah baru yang lebih rumit. Tentang sebab dan akibat,
dan faktor-faktor lain sebagai alasan dan alibi mengapa melakukan hal-hal itu.
Misalnya tentang meningkatkan mutu pendidikan dengan
menyebar pendidikan massal di setiap daerah terpencil di negeri ini. Namun hal
tersebut hanya mengubah jumlah. Belum lagi tentang dana untuk pendidikan yang nyasar ke kantong orang-orang tertentu.
Saya suka dengan kutipan pada halaman 69 oleh Phillip
Coombs, “Astaga...., mari kita sudahi saja semua permainan angka-angka ini.”
Saya juga teringat salah satu penyair, dengan sajaknya dalam
acara puisi Membaca Indonesia, Timur Sinar Suprabana. “Sebab, angka-angka tak
pernah membuktikan apa-apa.”
“Jika Anda ingin memperbaiki mutu pendidikan, maka perbanyaklah jumlah gedung sekolah, tingkatkanlah jumlah dan kemampuan guru, tambahlah prasarana dan sarana belajar, dan seterusnya dan seterusnya! Dengan kata lain, logika para perencana pendidikan belum lagi beranjak dari logika Hukum Parkinson...” (hlm. 73)
Saya juga teringat kampus saya, eh.
Tulisan ini panjang, mulai dari halaman 67 sampai 81.
Terpanjang darpada tulisan-tulisan sebelum ini, karena catatan kaki yang juga
panjang. Dibahas juga bahwa sistem pendidikan nasional lebih khususnya dampak pada
kepala sekolah adalah dia tidak bisa menjalankan salah satu fungsi utamanya
yakni mengajar di kelas. Sehingga sekolah lebih tampak seperti sebuah
perusahaan yang menjalankan fungsi baru sebagai ‘manajer proyek’.
Hal ini merupakan dampak dari pembaharuan sistem pendidikan
nasional. Namun dilemanya, melakukan pembaharuan itu tidak gratis, dan dana
yang lebih dari 20% dari RAPBN 1981. Pembuat kebijakan pendidikan terus
bernafsu untuk melanjutkan percobaan-percobaan yang mahal.
Begitulah, sistem pendidikan nasional belum matang benar.
Kemudian diganti dengan sistem yang baru yang menyesuaikan dengan teknologi
modern, sehingga membuat sistem yang belum matang, menjadi benar-benar mentah
kembali.
Tulisan di bagian ini lebih pada kritik sitem pendidikan
nasional. Juga pendidikan sekolah.
Bagian 10, Jalan Sekolah
Dokumen pribadi |
“Bayangkan ini: jalan kaki setiap hari pulang-pergi sejauh kurang-lebih 10 kilometer, seluruhnya melalui jalan setapak, menerobos belukar, menyusuri pematang-pematang sawah, meniti jembatan bambu, memanjat dan melompat pagar-pagar kebun, melintasi hutan, dua kali mendaki lereng setinggi seratusan meter pada kemiringan 40-60 derata.” (hlm. 83)
Roem menggambarkan mereka yang berusia 6-12 tahun melakukan
perjalan itu, selama 6 tahun, dengan ceria.
Saya rasa inti dari tulisan bagian ini bukan di sana,
melainkan pada tengah dan akhir. Yang saya merasanya juga, bahwa bersekolah di jurusan tertentu kemudian kembali ke desa, dan menjadi petani, benar-benar tidak
ada hubungannya.
Beberapa waktu lalu ketika saya KKN 2018, orang-orang
di daerah pegunungan Blitar Selatan juga mengalaminya. Tidak melanjutkan
sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, yang paling banyak adalah pergi ke luar kota
dan luar negeri. Meninggalkan kampungnya. Seharusnya kalimat berikut menampar
pipi kita semua:
“Sungguh, saya tak paham mengapa menjadi petani dan hidup di desa dianggap sesuatu yang perlu dihindari, bahkan disesali?” (hlm. 86)
Tan Malaka pernah mengatakan hal senada, “Bila kaum muda
yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar
untuk melebut dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki
cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama
sekali.” bukan?
Poin lain yang disampaikan Roem adalah, bahwa sekolah dengan
perjuangan demikian untuk tingkat SD, hingga sekolah lanjutan di luar kota yang
lebih jauh, tidak menjawab permasalahan orang-orang di sana.
“...ketiadaan prasarana saluran pengairan sawah-sawah mereka; atau masalah makin langkanya benih padi, palawija, dan sayuran yang biasa mereka tanam; atau soal ketiadaan peralatan sederhana untuk memecah biji-biji kemiri, mengupas biji-biji kopi, memeras nira aren, dan menyaring madu lebah hutan; atau cara tepat-guna melawan hama tanaman coklat dan vanili; semuanya belum juga terpecahkan selama puluhan tahun.”
Dan di paragraf selanjutnya:
“...Tetapi, kalau ternyata sekolah selama ini pun tak mampu membantu mereka memecahkan masalah yang sudah menghantui selama puluhan tahun.... nah, lantas apa guna mereka bersekolah?...” (hlm.86)Dalam bahasa yang paling sederhana: sekolah telah menyimpang dari permasalahan yang nyata.
Mari dengar sajak rendra, Sebatang Lisong.
Bagian 11, Sekolah itu Candu
Dokumen pribadi |
Judul ini sekaligus menjadi titel buku, Sekolah itu Candu.
Dibuka dengan kasus Eko Sulistyo yang dijelaskan pada catatan kaki bahwa dia
dipecat dari SMA karena melakukan penelitian tanpa izin tentang pandangan kaum
remaja seusianya tentang kehidupan seksual.
Roem membahas tentang sekolah, juga meminjam ‘ketaksadaran
kolektif’-nya Jung. Bahwa sekolah bisa juga jadi mitos purba yang akan
diwariskan kebenarannya turun temurun.
Satu poin yang saya tangkap bahwa sekolah adalah maha benar.
Begini, jika seseorang calon siswa, telah mendaftar dan ditolak karena
terlampau tolol, maka yang salah calon siswa itu. Jika seorang siswa melakukan
kesalahan, meskipun sekolah memecat siswa itu, yang salah tetap saja siswanya.
“Adapun yang salah (dan memang akan selalu dipersalahkan) adalah mereka yang justru gagal menjalaninya...” (hlm. 95)
Bagian 12, Selamat Tinggal, Sekolah!
Dokumen pribadi |
Ya, ya, selamat tinggal sekolah, saya mau jadi pesohor dan
bintang pujaan!
“...acara-acara promosi berlangsung gebyar-gebyar di hampir semua kota besar. Gadis-gadis cantik pun menari-nari, para perjaka tampan berjingkrak-jingkrak, dan.... seluruh negeri berpesta!” (hlm. 100)
Media-media menempatkan anak-anak muda yang berhasil meraih
juara olimpiade matematika dan fisika tingkat dunia alpa mendapat sorotan.
Malah asyik dengan menampilkan acara-acara –yang sebenarnya tiru-meniru saja—
tentang menyanyi dan jadi bintang pujaan pada prime time atau waktu siaran terbaik.
Selain dari faktor media, perhatian pemerintah dibagi-bagi
sehingga pendidikan nasional dipandang sebelah mata saja. Salah satunya karena
korupsi yang telah merasuk di tiap sendi kehidupan.
Saya bingung pada kalimat terkahir yang tampaknya
provokatif:
“Untuk apa pula ikut-ikutan anak-anak ‘berkacamata pantat botol’ itu, yang meski piawai memetakan bintang-bintang di langit, namun diri mereka sendiri tak pernah bisa jadi ‘bintang gemerlap’ dalam kehidupan nyata? Selamat tinggal, sekolah!” (hlm. 102)
Bagian 13, Sekolah Sudah Mati!
Dokumen pribadi |
Paragraf awal pada Sekolah Sudah Mati benar-benar bernada
provokatif. Seakan-akan ingin mengatakan sekolah itu tidak penting. Dan hingga
paragraf terakhir, saya tidak menemukan kalimat yang membalikkan anggapan awal
tadi.
Saya kok merasa, Roem menulisnya dengan ambisi dan semangat,
dicampur dengan rasa kecewa dan amarah. Sekolah sudah mati!
Judul dari tulisan ini memang nyaris sama dengan salah satu
kalimat pada Also Sprach Zarathustra.
Tapi ini sekolah yang telah mati, sesuatu yang telah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Alur menata logika yang disajikan Roem mirip novel The Madness of God dengan mengumpulkan
analogi dan contoh, dan pada bagian tertentu dipukul bersamaan sehingga pikiran
pembaca akan mengatakan, “Iya, ya.”
Bagian 14, Sekolah: dari Analogi ke Alternatif
Dokumen pribadi |
Saya menganggap tulisan di bagian ini adalah berani. Dalam
artian yang sebenar-benarnya dan bukan kiasan.
Roem menggelontorkan pendapat para ahli tentang apa itu
sekolah. Juga kiasan-kiasan dari mereka. Seperti Ki Hajar Dewantara yang
mengiaskan sekolah itu taman. Namun ada yang menganggap sekolah adalah kebun,
dan ini bukan kiasan, kebun yang sebenar-benar kebun. Yakni Presiden Pertama
Republik Tanzania, Julius Kambarage Nyerere.
Selain itu, kiasan bebas saja. Misal sekolah itu sejenis
tuyul (heffalump, kias yang diilhami
oleh dongeng kanak-kanak populer di Inggris). Pada catatan kaki, heffalump adalah sesuatu yang tak jelas
wujud rupanya, sehingga sering dijadikan kias satiris untuk sesuatu perdebatan
terminologis yang tidak perlu atau sesuatu penjelasan yang memang tidak mudah.
(hlm. 114)
Saya sebut berani, sebab Roem di sini juga berpendapat:
“Ah, mengapa susah-susah nian? Begini saja: sekolah itu....
pasar!”
Kemudian dia juga sajikan pengetahuan tentang ekonomi, yaitu
pendapat dari Adam Smith dan Alfred Marshall.
Keberanian Roem makin terlihat pada paragraf terakhir:
“Dan, itu artinya upaya mencari alternatif. Dan, alternatif juga bisa berarti sesuatu yang amat sangat berbeda: tidak sekadar memperbaiki, meningkatkan, menyesuaikan, menambal-sulam; tetapi juga bisa berarti meniadakan, menafikan, mengubah, atau mengganti dengan sesuatu yang lain sama sekali, yang berlawanan jika perlu, yang benar-benar baru dan membaharu!”
Bagaimana? Sudah merasa ngeri? Dan penasaran ingin membaca
semua bagiannya secara lengkap dan utuh? Untuk para calon pendidik, atau
pendidik, atau bekas pendidik, atau orang tua, atau siapa saja yang ingin
membaca buku, buku tipis ini bukan sekadar buku tentang sekolah, tapi juga
tentang realitas dan kemanusiaan.
Epilog, Sekolah Masa Depan
Dokumen pribadi |
Barangkali dalam prediksi Roem, sekolah akan ditiadakan.
Orang-orang akan lupa, dan asing dengan apa itu yang dinamakan sekolah.
Pada epilog ini mengejutkan kembali. Ini adalah cerita,
sambungan yang amat sangat anggun dari prolog di awal. Tentang seorang lelaki yang menemukan naskah
usang.
Dan pada akhirnya, lelaki itu membangkitkan kembali apa itu
sekolah. Ya, itu masa depan, tahun 2222.
Setiap tempat: sekolah
Setiap orang: guru
Setiap buku: ilmu
Saya yakin pembaca akan terpikat dengan ceritanya. Dengan
narasi yang penuh kejutan. Pada tulisan-tulisan yang tidak sekadar hanya
permukaan.
Saya juga ingat, seorang teman, seorang guru, yang mengajar di
sebuah lembaga swasta sekolah menengah pertama, juga merangkap jadi pengajar di
lembaga swasta sekolah menengah atas. Proses belajar-mengajar yang dilakukannya
adalah pergi ke alam, belajar langsung dengan kenyataan. Tentu saja dari buku ini, ada irisan yang sama sehingga saya ingat kepada teman saya itu.
Namanya Ilham Mustofa.
Mohon maaf jika banyak kesalahan dan kealpaan menyadari tata
krama dari saya dalam menulis ulasan ini. Sebab hanya sehari ini saya baca
bukunya, sekalian saya rampungkan tulisan ini. //
2 Comments
Good
ReplyDelete:)
Delete