![]() |
Img src Pixabay.com |
Siang itu tidak benar-benar panas. Sebab kendaraan roda
empat itu memiliki pendingin yang sehat. Lelaki itu hanya menunggu di mobil
ketika pacarnya hendak membeli emas. Tak seberapa lama kemudian dia turun,
merasakan sinar matahari yang menghidupi. Merasakan panasnya siang itu.
Motor-motor silih berganti dan parkiran tidak pernah sepi. Dia
duduk di trotoar di bawah pohon sebelah aspal. Di sekitar orang-orang yang
berjualan di atas trotoar. Ada yang berjual roti, mainan anak, dan orang-orang
yang lewat bermacam-macam. Ada sales yang membawa produk kecantikan, ada orang
pacaran yang bergandengan tangan.
Di sebelah orang yang berjualan emas eceran, seorang gila
datang. Dia berbicara dengan irama yang sama-sama kacau seperti penampilannya. Saya
yakin dia tidak mandi lebih dari seminggu. Dan hanya memiliki sedikit sekali
baju.
Ada saja yang dibincangkan, pertama-tama orang gila itu
mulai tentang dirinya yang diperkosa dan hamil.
Anak dari hasil perkosaan tersebut dititipkan di depan pintu
besi rumah orang entah siapa. Kemudian dia pergi dan menangis. Sebenarnya kisah
yang dibawa mulutnya yang bau tersebut adalah tentang kesedihan. Namun
bagaiamana juga dia sampaikan dengan ceria.
Lelaki kita yang duduk di trotoar yang menunggu pacarnya
memilih-memilah emas mendengarkan dengan mengantuk. Barangkali orang gila ini
adalah pencerita yang andal. Dia juga berkisah tentang polisi yang galak dengan
mimik ceria pula.
Lelaki yang duduk di sebelahnya yang sedang menyuapi anaknya
meletakkan sendoknya. Dia tampak agak tersinggung dengan cerita yang barusan. Singkat
waktu kemudian kita akan sadar, bahwa lelaki agak gendut itu adalah polisi.
Ya, ya, meski ceritanya banyak, orang gila ini tidak
memiliki alur yang runtut dan sistematis. Ceritanya seperti sebuah novel yang memang
disusun tidak urut, maju dan mundur, dan menggantung, dan tidak ada apa-apa yang bisa
diperoleh dari novel tersebut selain kekesalan.
Orang gila tersebut melanjutkan bercerita tentang sebab dia
diperkosa. Bahwa saat dia masih waras, dia jongkok di pematang kemudian
kencing. Tanpa ada sirene tanda bahaya, tanpa ada aba-aba, dia dirangkul dari
belakang, dan bajunya dicopoti satu persatu. Dan satu persatu tamparan dan
pukulan melayang, dan si pelaku pemerkosa mengancam akan memukul dan menampar
terus jika dia melawan. Maka terjadilah yang memang terjadi.
Ceritanya berlanjut bahwa dia pernah berak juga di depan
gerbang kantor polisi. Hal ini membuat gempar satu kantor. Saya suka cerita
yang ini, yang disampaikan dengan ceria di depan polisi yang sedang menyuapi makan
anaknya.
“Sakjane awakmu
kedanan wong lanang ngganteng, karo wong elek emoh, (Sebenarnya kamu
tergila-gila dengan lelaki tampan, sama lelaki orang jelek tidak mau),” kata
penjual emas eceran.
Si orang gila hanya terkekeh.
Si penjual melanjutkan, sementara si polisi mendengarkan
dengan waspada, “Awakmu karo Sugeng
gelem? (Kamu sama Sugeng mau?”
“Gah. Dek e bajingan. Aku
gah. (Tidak mau. Dia bajingan. Aku tidak mau),” kata orang gila.
Sementara lelaki kita menikmati drama gratis di trotoar yang
mulai menarik, pacarnya keluar. Gadis itu melihati gelang emas di tangannya. Serasi
dengan dua cincin di dua jarinya. Dan sebuah kalung di lehernya. Dan semua adalah
emas.
Lelaki kita buru-buru memasukkan gadis itu ke mobil. Dan
memang begitu seharusnya, jika dia tidak ingin ketahuan tunangannya.
Dalam perjalanan ke tempat persembunyian, lelaki ini
terkekeh.
“Kenapa?” tanya pacarnya.
“Ah, nggak apa-apa.”
Gadis itu tidak peduli dengan obrolan receh barusan. Dia memeluk
dan mencium sebentar bibir pacarnya.
“Makasih gelangnya.”
“Tak masalah, Sayang.”
“Besok cincin lagi, ya?”
Dan lelaki itu terus terkekeh sebab merasa bahwa pacarnya
lebih gila dari orang gila di trotoar tadi. Karena tidak bisa membedakan mana yang sepenuhnya bajingan dan mana lelaki yang kadar bajingannya sedikit.
Sedan putih itu berbelok ke sebuah penginapan sebelum saya
tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya. //
0 Comments