![]() |
Image by Free-Photos from Pixabay |
Kali ini aku melihat
pagi. Bahkan kulihat embun yang jatuh dikalahkan mentari. Suara-suara burung
berburu pergi dari sarang. Memberi salam pada sesamanya tentang keselamatan.
Orang-orang belum
banyak yang beraktifitas di luar. Hanya para pedagang di pasar malam yang baru
pulang dari lapangan. Acara semalam nyaris membuatku tidak bisa tidur. Suaranya
sampai sini, bagaimana pun, aku bisa bangun sepagi ini. Dan melihat pagi.
Udaranya segar belaka. Kakakku
yang pemabuk dan sekarang sedang terkena influenza juga bangun. Barangkali pada
jam di tembok menunjukkan pukul enam, tapi itu tidak penting, kakakku duduk di
kursi sebelahku, dia menyulut rokok paginya meski sedang kurang sehat.
“Lihat! Kak! Lihat! Ujung
pohon warnanya emas! Lihat Kak! Lihat!”
Secara malas dan dengan
lambat sekali kakak menoleh ke arah telunjukku, “Kau selalu goblok. Itu karena
kena sinar matahari. Jangan goblok begini kalau jadi adik kakak.”
Suara kendaraan
bergantian lewat depan rumah. Pagi ini hampir hilang. Sedang kakak sudah
menyulut rokok keduanya.
Sekarang adalah Kamis. Anak-anak
seusiaku tidak akan punya waktu bersantai, menikmati pagi, juga maki kakak. Mereka
akan sibuk menyapu halaman rumahnya yang luas, buru-buru mandi dengan air
dingin, dan segera berangkat sekolah.
Matahari benar-benar
jahat. Jika ada sesuatu yang tidak kusukai pada pagi, itu adalah matahari. Kulihat
kakak ke belakang, pasti meracik kopi, dan benar saja, dia kembali lagi membawa
secangkir saja.
Kulihat kakak yang
murung. Aku rindu dengan kata-katanya yang selalu memakiku, seperti goblok,
adik tolol, adik bau, dan yang lainnya.
Segerombolan bebek yang
digiring dengan tongkat panjang oleh orang di belakangnya barusan lewat. Saat itu
kusadari bahwa sekarang telah pukul tujuh. Dunia sudah benar-benar terang, tapi
kakak tidak, dia tetap terpaku di sana, melihati kolam kecil berisi Mujair yang
dulu sering kita rawat bersama.
Sebenarnya pukul tujuh
adalah perpisahan. Pagi telah terang. Dan terang itu membuatku samar. Aku tidak
akan terlihat, dan kakak tetap tidak akan melihatku, dan dia sebenarnya
penakut, meski aku sering mengajaknya bicara, dia tidak mendengar apapun.
Kasihan kakak, dia jadi
perokok begitu, dan pemabuk begitu. Dan wajahnya murung sekali. Tidak ceria seperti matahari.
“Kak, apa yang akan
kakak lakukan pagi ini?”
“Dasar adik bau! Cepat mandi!
Kau harus sekolah! Sebelum Ibu pulang dan membuat pantatmu memar!”
Percakapan itu
menyenangkan. Meski dulu menyeramkan. Sekarang kurindukan. Dan itu tidak akan
pernah terwujud.
Kakak tetap diam,
mendiamkan kopi yang dibuatnya pagi tadi, dia memandang kolam kecil itu. Yang
dulu berisi Mujair, sebelum kakak uruk dengan tanah. Kolam kecil yang berisi
kenangan, yang menjadi alasan, aku dan kakak dipisahkan oleh alam. //
0 Comments