![]() |
Image by Deflyne Coppens from Pixabay |
Aku ingat ketika
Jibril sudah tak lagi bekerja setelah Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasalam wafat. Saat itu aku masih dalam sebuah diskusi, di sana Tuhan
menunggu jawabanku. Aku sempat berpikir keras, dan tak berucap apa pun. Dan akhirnya
aku dilahirkan tanpa tahu mengapa.
Hingga dewasa
kini aku masih dalam dilema, antara mati atau menjadi bagian doktrin
orang-orang yang terdahulu. Aku harus patuh, sampai berak pun harus kulalui
dengan beberapa tahapan. Sesungguhnya aku tak menikmati berak yang seperti itu.
Sempat sekali aku mengelak, dengan berak di dalam mulutku sendiri. Aku akan
berpikir itu sangat nikmat sekali, dan berniat akan kulakukan sampai tiada lagi.
Namun setelah
sampai ini, sudah begitu deras mengalir dalam tubuhku tahapan berak keji itu,
maka tak sedikit pun aku melanjutkan niatku. Aku benci, bukan karena rasa berak yang
aneh dan mulutku tak menerimannya. Aku membenci apa yang sudah melekat dalam
jiwaku, dan mungkin saja mereka yang manusia sepertiku merasakan hal sama.
Aku bertanya
kepada seorang yang menganggapku teman, “Apa kau ini hidup?” lalu ia
menjawab,”Apa kau melihatku mati?” dan pertanyaan itu kembali kuulang-ulang,
baru untuk yang ke lima kali ia memberikan jawaban yang berbeda. “Selama
hidungku masih menghirup udara, itu adalah satu bahwa aku ini sedang hidup.”
Aku bertanya
lagi, “Apa kau mau makan berakku?”
“Kucing sinting pun tak akan sudi
memakan itu,” sahutnya jengkel.
“Dan kini aku,
baru saja tahu jika kau manusia.”
Ia pergi dan aku
tetap berdiri memandangi kepergiannya. Aku yakin ia sedang menggerutu dengan
mencaci gila. Namun aku tak yakin ia begitu gila menganggapku sebagai gila.
Tak lama
kemudian ia kembali dengan sebuah cangkul yang dipegangnya datar. Tampak
sekepal tahi
teronggok di atasnya. Sesampai di depanku ia menyodorkan cangkulnya.
“Tai?” tanyaku.
“Tak lebih
berbeda dari apa yang kamu lihat.”
Aku meraihnya,
kemudian menaruhnya pada tanah. Lalu kubuat lubang pada bagian bawah pohon durian
besar, lingkaran batangnya lebih dari roda Ferrari. Lalu kuambil kembali tai
itu, dan kumasukkan ke dalam lubang, kemudian kukubur kembali dengan sisa tanah
galian.
“Kenapa kau tak
makan?” tanyanya.
Aku menyuruhnya
kembali dua sampai tiga hari lagi, dan pula kukatakan padanya untuk memakan tahi yang kukubur itu
bersama. Aku pula meyakinkan, tahi itu akan lebih nikmat untuk beberapa hari ke depan. Namun ia membantah, mencaciku berkali-kali
dan kini bukan gila lagi, dia menganggapku bodoh.
Kemudian di hari
yang lain, ia tak kunjung datang. Aku pun enggan mengunjungi tempat penguburan
tahi itu.
Kini aku sendiri, dan bukan hanya dia, di sepanjang hari sebelumnya juga
kulakukan hal yang sama untuk teman lain. Dan aku yakin sekarang sendirian.
“Tuhan aku sudah
sendiri, bagaimana? Apakah aku ini mati?”
Seperti syair Jawa yang berbunyi semua
akan menjadi sendiri. Aku kini sudah sendiri, seorang teman tak mendekat
kepadaku, dan keluarga tak lagi bersamaku.
Aku sudah
sekitar satu bulan tinggal di sebuah gubuk di sawah. Tak begitu menarik, aku
pula hanya makan beberapa hewan-hewan sawah. Aku juga sudah merasa tubuhku
begitu kering, tak segempal ketika hidup bersama mereka.
Sebelumnya aku
juga bersekolah, di gedung-gedung dengan membayar beberapa uang dari kertas.
Pula kertas yang biasanya kupakai menuangkan tinta, bahkan kertas yang biasa kupakai
membersihkan berak.
Kertas berwarna
itu menarik, bisa untuk membuat perutku kenyang. Katanya, kertas itu pula yang
membuat gedung-gedung itu ada. Kertas yang lain, sebagai pembungkus kado dan
juga barang-barang elektronik. Yang bergambar biasanya penunjuk tanggal dan
waktu salat.
“Tuhan, Kau punya kertas untuk
enak dimakan, tak seperti berak,” katanya juga dari kertas yang menunjukkan manusia beriman.
Seorang
perempuan cantik datang kepadaku. Aku terheran-heran kenapa cantik dan aku kini
menyebut diriku sendiri tampan.
“Aku sudah tidak
berak selama tiga hari, dan kini perutku buncit seperti… koruptor negeri,” kata banyak orang begitu, dan orang itu pula sama.
“Aku datang
menjemputmu, Sayang,” katanya pelan.
“Aku tak akan
kembali, kecuali mengikutimu,” sahutku.
Ia membawaku
dalam sebuah rumah besar, memberiku makan dan baju ganti. Merawatku selama satu
minggu. Di satu minggu itu pula aku sudah seperti dulu. Aku mencintainya-
perempuan itu. Dan kubiarkan Tuhan dalam tingkahku, membuat wajahnya cantik
menjadikan dirinya menarik dan membikin hatiku tertarik. //
Ditulis oleh. Rahmad Jaelani. Tulisan Rahmad Jaelani yang lain di sini.
0 Comments