![]() |
Image by Joseph Redfield Nino from Pixabay |
Fenomena Sastra Indonesia
Banyak
hal yang menyita perhatian publik. Jika publik ingin tahu, maka dapat dikatakan
hal tersebut penting. Fenomena sastra jadi salah satunya.
Fenomena-fenomena
sastra di Indonesia menjadi warna yang macam-macam dalam kesusastraan. Untuk
beberapa daftar yang saya rangkum dari diskusi bersama Ilham Mustofa sebagai
Kernet dan H Niskala sebagai Pengamen di Sadha.net.
Tidak
mendalam, saya tahu, sebab tujuan saya hanya memberi daftar (alibi sebab kurang
pembacaan dan waktu). Menariknya, sebuah organisasi intrakampus yang bergerak dalam bidang
kejurnalistikan mengadakan Pelatihan Sastra Alternatif (Plaster).
Berikut materi permukaan (tanpa penjelasan) yang
diperuntukkan dalam acara pra-Plaster yang tidak jadi disampaikan.
Secara
garis besar ada 3 fenomena yang terjadi yang saya kelompokkan berdasarkan cocoklogi. Berikut di antaranya adalah
plagiarisme, kolaborasi sastra dan budaya pop, serta sastra harus menyentuh
semua kalangan.
File Word bisa diunduh di sini
Plagiarisme
Sebelum
masuk ke plagiarisme, lebih baik kita bahas beberapa istilah seperti terjemahan
dan saduran.
Terjemah
adalah mengalihbahasakan tanpa mengubah konsep, pengertian, ataupun amanat.
Sehingga jika orang membaca karya terjemahan, maka orang tersebut seakan-akan
membaca karya aslinya.
Menyadur
adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa mengganti garis besar cerita,
biasanya dari bahasa lain.
Perbedaan
paling besar dari menerjemah dan menyadur adalah adanya kebebasan bagi penyadur
untuk mengubah, menggubah, dan mengganti unsur-unsur ceritanya. Misal
sebuah karya sastra cerpen berbahasa Belanda, disadur ke bahasa Indonesia.
Penyadur bebas mengganti nama tokoh menjadi nama-nama Indonesia, seting tempat berada di Indonesia, dll.
Tapi tetap dalam garis besar yang serupa.
Beda
lagi dengan plagiat. Dalam KBBI V, plagiat adalah pengambilan karangan orang
lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri. Dalam hal ini, mengutip
seluruh atau sebagian karya orang lain dalam bentuk asli atau terjemahan, atau saduran,
tanpa memberi keterangan dikutip dari mana sehingga pembaca mengira karya
tersebut tulisannya sebab dibubuhkan nama sendiri, maka kegiatan itu disebut
plagiat. Orangnya plagiator.
Bagaimana
pun, kegiatan plagiat merupakan kejahatan intelektual. Dampaknya tidak hanya
pada orang lain yang menganggap salah kaprah pengarangnya, namun juga pada
penulis sendiri. Tapi apa benar,
intelektual mau mengotori dirinya dengan najis menjijikan seperti plagiat?
Tidak malu mencomot sana dan sini?
Plagiat
akan lebih rendah derajatnya, rendah pelakunya, rusak kemaluannya, dan sangat
bisa disebut sebagai pencuri, jika dilakukan oleh orang yang tahu dan
berkecimpung dalam hal tulis-menulis. Semoga di sini tidak ada plagiator untuk
buletin, tulisan di situs web,
dan majalahnya
LPM Dimensi.
Plagiat
masuk dalam pelanggaran hak cipta. Diatur dalam UU No. 28 tahun 2014 tentang
Hak Cipta. Ada hak moral, hak ekonomi, macam-macam. Kalian bisa mencari terkait peraturan perundang-undangan ini.
Istilah
populer lain adalah epigon. KBBI V mengatakan bahwa epigon adalah orang yang
tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang
mendahuluinya.
*
Dikutip
dari ensiklopedia kemedikbud, dalam acara pengadilan puisi Indonesia mutakhir,
Slamet Kirnanto –yang bertindak sebagai “jaksa”—membacakan “tuntutan”-nya yang
berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini Tidak Sehat,
Tidak Jelas, dan Berengsek!”
Pengadilan
puisi ini di Bandung, 8 Sepetember 74.
Slamet
Kirnanto dalam "Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini
Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!" menyatakan "Menimbang
perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan
menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan
belukar yang menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang;
berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam
pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat;
dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam
"Peradilan Puisi Kontemporer", mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Para
kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir,
khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus "dipensiunkan" dari
peranan yang pernah mereka miliki.
2. Para
editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3. Para
penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain)
dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan.
Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. Horison
dan Budaya Jaya harus dicabut "SIT"-nya dan yang terbit selama ini
dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan
masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita
harapkan sehat dan wajar (Eneste, 1986)."
Selanjutnya,
dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan
Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko
Damono yang dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Selain itu, majalah Horison dan
Budaya Jaya juga dianggap berdosa karena menjadi penyebar dan juru bicara
epigonisme yang dianggap berbahaya itu sehingga harus dicabut izin terbitnya.
Akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan
M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa "selalu
menghembus-hembuskan angin sastra yang tidak sehat serta tidak sanggup melihat
gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia" sehingga
mereka harus segera dipensiunkan (Eneste, 1986).
(Sumber:
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Pengadilan_Puisi |
Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia)
*
Kutipan
tersebut mengawali fenomena sastra kita yang pertama, yakni plagiat. Cerita
yang menarik selain pengadilan puwisi. Misalnya,
Krawang-Bekasi Chairil Anwar yang dianggap plagiarisme oleh H.B. Jassin atas puwisi
berjudul The Young Dead Soldiers
karya Archibald MacLeish, juga Datang Dara Hilang Dara plagiat dari Hsu Chih Mo
berjudul A Song of the Sea.
Persoalan
yang menyangkut ‘maestro’ ini mendapat perhatian yang serius. Perdebatan
muncul, ada yang menganggap Chairil Anwar plagiator. Ada yang menganggap
Chairil tidak plagiarisme, karena Chairil hanya mengambil inti dari sajak bahasa
asing dan mengembangkan inti tersebut dalam bahasa Indonesia. Mereka kemudian
menamai saduran, yang dalam buku Aku Ini Binatang Jalang terbitan GPU Juli
2011. Di buku tersebut Kepada Peminta-Minta karya Ch. Anwar juga
masuk kategori saduran.
Puisi
Kerendahan Hati Taufik Ismail pada 2011 lalu mendapat perhatian media juga,
dianggap contekan dari Be the Best of
Whatever You Are karya Douglas Malloch.
Roman
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
dianggap plagiat dari Soul les Tilleus karya
Jean-Baptiste Alphonse Karr dari Perancis. Yang didapat Hamka dari saduran
Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi berjudul asli Majdulin. Pramoedya yang waktu itu
menahkodai Bintang Timur melalui lembaran Lentera menanggapi serius kasus ini,
kemudian oleh Muhidin M. Dahlan dari arsip Bintang Timur ditulis buku berjudul
“Aku Mendakwa Hamka Plagiat”.
Detail dari fenomena plagiat ini, lagi-lagi bisa
kalian cari sendiri.
Kolaborasi Sastra dan Budaya Pop
Budaya
adalah adat atau kebiasaan. Pop adalah sebutan lebih pendek untuk populer.
Budaya pop bisa diartikan sebagai kebiasaan yang hanya berdampak pada kehebohan
semata, dan bertunjuan hanya untuk komersial yang menguntungkan produsennya.
Perkembangan
teknologi dan modernisasi adalah faktor yang paling menunjang berkembangnya
budaya pop. Orang bisa melihat budaya yang melenceng dari nilai luhur
kebudayaan Indonesia melalui media. Mengubah paradigma dan gaya hidup
masyarakat bersangkutan.
Budaya
pop disebut juga sebagai budaya yang lahir atas kehendak media. Dampaknya tidak
kecil, perilaku konsumtif semakin besar, menipisnya budaya lokal yang luhur
dari masyarakat, gaya hidup hedonis, dan lingkungan jadi kapitalis.
Jika
sastra berkolaborasi dengan budaya pop akan melahirkan sastra populer. Umar
Kayam mendefinisikan sastra populer sebagai sastra yang ditulis untuk selera
populer dan digunakan sebagai barang dagangan.
Isu
yang diangkat dalam karya sastra populer adalah isu-isu yang disukai banyak
pembacanya, seperti makanan yang menggiurkan, murah, tanpa peduli dampak
darinya. Sialnya, isu tentang percintaanlah yang paling laku dalam masyarakat
sejak zaman bahula.
Media
dan sastra populer –dalam hal ini percintaan— memunculkan budaya sastra populer
yang (bisa saja) jauh dari nilai-nilai luhur budaya dan nilai-nilai luhur
kesusastraan, yang disebarkan dengan komunal oleh media sebab yang dituju
adalah komersial.
Penulis
karya sastra dalam kepentingan perkembangan kesusastraan Indonesia, harus
menjaga jarak dengan penikmat karya sastranya, seperti jurnalis dengan
birokrasi, seperti orang yang pacaran dengan mantannya, agar tetap
berkembangnya kreativitas penulis. Tidak terseret arus budaya populer yang
seragam.
Sastra
populer dalam kesusastraan Indonesia misalnya adopsi ke film dari karya sastra
novel, gencarnya aplikasi gawai wattpad,
dan penerbit mayor yang bertujuan pasar.
Pertama,
novel diadopsi ke media visual berupa film bukan tanpa alasan, dan bukan
sembarang novel. Jika novel tersebut tidak laku, penulisnya tidak dikenal, dan
tidak menghasilkan dampak apa-apa pada kehidupan produsen, sangat muskil karya
sastra novel akan difilmkan. Dalam kata lain tujuan komersial tetaplah
yang utama.
Kedua,
aplikasi gawai wattpad dan
sejenisnya. Aplikasi ini berasal dari situs web, dan untuk kemudahan
pengaksesan, maka dibuat aplikasinya. Ada aplikasi serupa misalnya storial. Siapapun asal memiliki akun
bisa menulis sembarang cerita. Meski terlempar jauh dari PEUBI dan KBBI, tentang
isi yang secara tersirat menyinggung SARA, atau tentang LGBT. Melihat
perkembangannya sekarang, ada rubrik khusus yang mengangkat budaya pop Korea, mereka
menamai fiksi penggemar atau fans fiction.
Unsur-unsur
karya sastra populer didominasi percintaan anak sekolah berhasil menemukan
sekian ratus ribu bahkan jutaan pembaca. Ya, walau tidak semua tulisan di
aplikasi-aplikasi tersebut beraroma cinta monyet.
Ketiga,
tentang idealisme penerbit mayor. Beda dengan penerbit indie/independen, yang
bisa menerbitkan naskah yang seberengsek apapun. Penerbit mayor tidak
menentukan patokan harga untuk penulis seperti di indie, tapi akan ada kurasi,
seleksi, dan koreksi sehingga (dianggap) layak diterbitkan.
Sialnya,
melihat zaman sekarang, beberapa penerbit mayor sedang gencar mencari naskah
yang berasal dari aplikasi menulis seperti wattpad
dan storial yang telah memiliki
sekian juta pembaca. Hal ini bukan tanpa alasan, dalam kalimat paling kasar,
nyaris semua penerbit mayor mencari naskah yang marketable.
Melihat
contoh fenomena sastra yang berkolaborasi dengan budaya pop, tantangan untuk
sastrawan kontemporer adalah terkikisnya idealisme penulis untuk melahirkan
karya sastra yang mengangkat kemanusiaan dalam arus deras budaya populer dan
sastra populer.
Buku-buku
yang terlanjur terbit dengan penulis tidak dikenal, tidak sesuai keinginan
pasar, akan mandek dan tidak dicetak lagi. Dalam hal ini peran negara
dibutuhkan. Sikap negara yang tidak mempedulikan karya sastra ‘kecil’ seakan
memaksa para penulis yang sama-sama ‘kecil’ untuk menjadi ‘pedagang’ atas
tulisannya. Menuruti selera pasar yang tidak sesuai dengan kata hati
penulisnya.
Negara
seharusnya menjamin para sastrawan untuk tetap berkarya tanpa harus ‘menjual’
tulisannya. Tidak perlu membuat para sastrawan menurunkan bobot karya sastranya
agar dibaca banyak orang, diterima penerbit besar, dan laku keras di pasaran.
Sastra Harus Menyentuh Semua Kalangan
Masalah
lain adalah pembajakan buku. Alasan paling logis adalah buku-buku yang
dibutuhkan untuk –misalnya perkuliahan—tidak tersedia secara komunal. Selain
harga buku asli yang terlampau mahal, sedang dosen menuntut minimal referensi
untuk makalah yang –entah gunanya apa—adalah sekian.
Buku-buku
sastra banyak yang diperbanyak, beberapa penulis tidak seperti Pramoedya yang
memperbolehkan bukunya diperbanyak siapapun dan berapapun.
Calon
pembaca akan menimbang-nimbang buku karya sastra mana yang perlu dibaca dan
tidak. Hal ini diambil keputusannya setelah ada rekomendasi dari teman/kenalan
yang terlebih dulu telah membacanya. Jika buku itu dirasa tidak baik, maka
calon pembaca akan enggan mencari dan membeli buku yang dimaksud.
Dampak
buruk yang telah terjadi pada kolaborasi sastra dan budaya pop, bisa diatasi
dengan sebuah kebijaksanaan menggunakan karya sastra berkualitas sebagai salah
satu sumber pembelajaran di sekolah. Menjadikan karya sastra untuk menangani
keterpurukan moral bangsa. Sehingga sastra menyentuh semua kalangan sejak dini.
Sastra
harus menyentuh semua kalangan dalam sendi kehidupan. Mulai pendidikan hingga
politik. Secara terus-menerus, jika semua orang menyukai sastra, penerbit
menerbitkan buku sastra yang baik, secara tidak langsung maka akan meningkatkan
minat baca. Mengapa harus sastra? Sebab semangat sastra bukan sekadar berbau
melankolis-romantis, secara histori sastra membawa semangat humanistik.
Seperti
buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra
Harus Bicara, SGA ingin mengatakan bahwa sastra bisa menjadi alternatif
untuk menyampaikan fakta. Bukan tidak mungkin sastra bisa juga digunakan untuk
media pembelajaran di sekolahan.
Kepentingan
dalam karya sastra harus menyentuh masalah kehidupan. Bukan sekadar kepentingan
penulis semata, tidak ke-aku-an, kapasitas sastra sebagai media penyampaian
konsep yang anggun lebih dari itu.
Penyakit
masyarakat kita saat ini, dekadensi moral, mulai dari sekolah dasar hingga
sekolah tinggi yakni matinya rasa saling menghargai dan lahirnya kesombongan.
Sastra mesti hadir dalam masyarakat yang compang-camping.
Pembacaan
perkembangan sastra kontemporer tidak akan lepas dengan internet. Perkembangan
teknologi informasi sebagai media penyampaian yang menyeluruh. Penyebaran
tersebut meliputi di antaranya: publikasi media visual terkait sastra, festival
dan lomba sastra, serta meledaknya penerbit-penerbit buku.
Bicara
tentang buku dan sastrawan, tentunya kita tidak akan melupakan fenomena yang
sempat ramai benar itu. Tentang terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Denny JA dan klasifikasi
baru dalam kategori sastra, Puisi Esai, adalah sebuah fenomena sastra. Beberapa
melempar kritik dan perlawanan tentang buku tersebut, misalnya Irwan Bajang di
blog pribadi
dan sebuah petisi di change.org,
Puthut EA dengan surat terbuka untuk Denny JA, serta Saut Situmorang dengan
sebuah tantangan ‘duel’ beneran.
Lainnya, sastrawan-sastrawan ‘senior’ seperti Sapardi Djoko Damono dan Presiden
Puwisi Sutardji CB memberi pujian
atas Puisi Esai Denny JA.
Perkembangan
dan penyebaran sastra meskipun tidak secara formal, tetapi melewati media
sosial dalam bentuk gambar. Banyak media visual yang berkontribusi dalam
penyebaran sastra, termasuk kutipan dalam buku sastra, maupun pembacaan puisi.
Dapat dijumpai dengan mudah di internet.
Tentang
festival dan lomba, media sosial menjadi penyebaran yang paling sering
digunakan dan dimaksimalkan. Mulai dari lomba biasa yang diadakan oleh kelompok
yang belum terlalu dikenal hingga lomba bergengsi yang diadakan kelompok elite
sastra, misalnya sayembara novel DKJ.
Penerbit-penerbit
buku indie muncul di mana-mana. Hal ini sejalan dengan meningkatnya kuantitas
kepustakaan buku sastra. Ingat, kuantitas. Penerbit-penerbit bersaing untuk
merebut pasar, penawaran-penawaran dan diskon paket penerbitan, sekali lagi,
disebarkan secara menyeluruh melalui media sosial. Jika redaktur dalam penerbit
tidak peduli terhadap isi naskah, meskipun makin banyak buku-buku berjenis
sastra diterbitkan, tidak meningkatkan kekayaan kesusastraan Indonesia.
Seperti
Denny JA, media sosial, sayembara bergengsi DKJ, dan munculnya
penerbit-penerbit indie. Saya yakin tetangga saya yang buta huruf namun menjadi
supir truk Jakarta-Jawa tidak akan peduli. Bahkan tidak tahu siapa Denny JA,
apa Puisi Esai, dan lain-lain, dan lain-lain.
Sastra
saat ini sibuk dengan diri penulisnya sendiri dan membutakan diri dengan pembacaan fenomena. Namun
ada baiknya, para sastrawan-sastrawan tersebut tidak miskin semua.
Mengikuti
jejak pendahulu dalam kesusastraan sah-sah saja, tapi perlu ditimbang-timbang
pendahulu yang mana. //
#jusuffitroh
#200319
0 Comments