![]() |
Image by Iva Balk from Pixabay |
Tiada malam yang indah selain malam-malam yang telah berlalu itu. Beribu cahaya telah padam dari sumber yang tiada pernah terbaca oleh mata. Selama ini waktu telah kita hitung, semakin mundur seperti setiap detik adalah nilai yang paling berharga. Selama ini kita menilai segala sesuatu seperti hakim dan sifat yang adil. Seperti umpatan dan kata sifat yang melekat di dalamnya.
“Dancuk! Johhh!!!” teriakku mengilustrasikan
puisi yang kubaca malam itu.
Suasana hening, sedari tadi, setelah kata-kata maki
kuluapkan pada intonasi yang tinggi. Tak ada riuh tepuk tangan sebab aku tak
pernah mengharap, “Ini bukan pertunjukan yang harus dinikmati.”
“Berilah aku recehan bila kau hargai setiap napas
dan suaraku dengan nilai. Potonglah kemaluanku, bila semua hasratku merampas
kemerdekaanmu, dan serakan pada rektormu!” lanjutku
Dari kejauahan kulihat petugas berseragam hitam dan
putih berlari menuju arah panggung, tiba-tiba kakiku diraihnya dari bawah dengan
tangan seukuran pahaku.
Bruak...
Gelap pandanganku hanya bintang malam yang indah di
langit hitam, mereka memanggilku dalam buaian hangat, seolah dalam pelukan
pacar yang tinggal harapan.
***
Ketika kondisi pikiran, fisik, dan emosi kita tak
bisa kita kondisikan dengan kesadaran, umpatan adalah obatnya. Bahkan aku yakin
Om Efren Reyes akan mengumpat bila tusukankanya meleset sepersekian mili dari
lubang. Seoalah tak ingin terpaku pada kenangan selepas malam-malam yang indah
itu. Kuputuskan untuk mengumpat di setiap kata sifat yang melekat.
“Jangkrik ane!”
“Matamu iku!”
Umpatan itu muncul saat aku memarahi kawan yang lupa
mencium pacarnya selepas kencan malam minggu. Ketika aku tak punya sebatang
kretek dan selelmbar dua ribuan. Ketika baru pulang rumah dimarahi gara-gara
lebih sering tidur dari pada membatu bapak di sawah. Ketika tidak punya apa-apa
selain suara dan kata. Maka umpatan adalah es oyen di tengah siang yang mengeringkan kerongkongan.
Hariman, kawan sebaya yang punya cita-cita mati
muda. Mengajaku berduel umpatan, berdasarkan logika yang tak mungkin dianggap
waras. Bersama selir dari khalayan yang kadang mengibur di kala lara.
“Dancuk!”
begitulah pintanya.
“Apa?” jawabku lirih.
“Sari aku naluri cinta untuk kamu.”
“Sori bro,
aku bukan homo,” jawabku sembari menuju dapur rumahnya mengambil gelas,
menyeduh kopi.
“Hahaha kirik
iku anak asu!”
“Asu iku kamu!” sautnya sambil
tertawa, tawa yang palsu.
Aku yakin Hariman lebih suka diam dari tertawa. Ia
lebih senang merasakan kepedihan daripada kata bahagia yang absurd itu.
“Bahagia itu absurd,” keluhku.
“Tak ada kesejahteraan yang tak dinilai.”
“Tak ada kepuasaan tanpa menguasai.”
“Tak ada pacar perempuan yang merdeka menjadi
manusia.”
“Hidup ini tentang kekuasaan!” sahutnya dengan nada
tinggi.
“Kau kukuasai.”
“Lantas bagaimana Tuhan menguasai?” tiba-tiba ia
menjadi serius, pertanyaan yang tak bisa kujawab, sebab logika dan akalku tak
bisa membuktikan.
“Dengan hidup?” jawabku ragu
“Salah!” teriaknya.
“Mati juga kekuasaanNya,” imbuhnya sembari menyomot
rokok di tanganku.
“Lalu apa?” serangan balikku.
“Tuhan tak pernah menguasai, ia tak perlu menguasai,
karena ia sudah punya segalanya.”
“Lantas apa gunanya kita hidup?” kukejar jawaban Hariman,
ia tercekik dengan asap rokokku yang ia pegang.
“Untuk mengumpat.”
“Umpatan adalah wahyu Tuhan yang melegakan segala
masalah, meskipun cuma bersifat meredakan, tidak mengobati, sama sekali.”
“Sebab ia adalah kata tunggal yang bermakna luas dan
berkelamin ganda.”
Tak ada jawaban dariku, sebab aku tak butuh
pembenaran, tak ada protes sebab aku bukan pemrotes, tak ada kalimat yang
muncul selanjutnya. Sebab di depan pintu segerombolan orang memakai setelan cokelat
hitam beratribut simbol-simbol keadilan menatap kami yang sedari tadi asyik di
ruang tamu.
“Selamat malam, kami dari petugas kepolisian Kota Mati,
sedang mencari mahasiswa yang bernama Paijo.”
Seolah tanpa jeda sedetik pun, “Anda yang bernama Paijo?”
“Iya Pak.”
“Saya ada beberapa pertanyaan yang harus Anda jawab,
mari ikut ke kantor.”
Tak ada perlawanan sebab hidup bukan untuk melawan. Tak
ada tangisan, sebab hidup bukan untuk menangis. Yang ada hanya umpatan, sebab
hidup hanyalah umpatan. Malam itu Paijo dibawa oleh polisi, setelahnya malam
itu kami tak saling bertemu.
Prok
prok prok prok...
Riuh tepuk tangan mengakhiri pembacaan novel pertama
Hariman, aku juga ikut datang bersama beberapa kerabat yang akhir-akhir ini
mulai memudar diterpa keadaan.
Trenggalek, 26 maret 2019
Oleh Ilham Mustofa: Tak ada yang istimewa
- hanya pria asli Tulungagung yang suka baca dan jarang nulis. lebih sering
ngelamun karena masih jomlo, dan suka ngopi untuk waktu yang lama. Bila ada
yang ingin diprotes atau ditanyakan silahken
hubungi panitia. "Lihatlah lalu bacalah, dengarkan dan ceritakan!"
1 Comments
Aku ingat kata "Joh" Hanya di temui sekitaran Tulungagung.
ReplyDelete