Gerimis makin ramai.
Membuat hujan yang lebih lebat. Suaranya bising karena air langit membentur
atap dari seng di rumahnya. Dia tidak akan mendengar, sebab dia sedang berada
28 kilometer dari rumah. Tidak ada hujan di kota ini, di kampus ini, juga di pipinya.
Dia di sana sedang berbahagia.
Empat lelaki lainnya
–sebab memang hanya itu lelaki tersisa—yang menjadi senior telah menyetujui
perannya masing-masing. Ada yang berperan sebagai senior paling berengsek, juga
ada yang berperan sebagai senior paling penyabar. Itu sudah disepakati, semua
bukan hal alamiah. Semua bentukan. Meskipun dampak dari peran itu berbeda-beda
juga. Mereka tetap menerimanya.
Dia berperan sebagai
senior paling berengsek. Tapi –sekali lagi—saat itu dia bahagia. Barangkali
otaknya sedikit tidak beres, tidak ada waktu luang untuk mengistirahatkan
punggung, hari Kamis dengan segala kesibukan perkumpulan.
Pukul sepuluh malam
hingga nyaris subuh, hal yang paling disukainya adalah ketika mereka berbicara
dengan jujur. Saat peluh yang bau di tangan berpadu dengan aroma harum anggur
tuangan.
*
Hidup begitu indah dan
hanya itu yang kita punya, batinnya. Dia selalu membatin judul buku paling
anyar Dea Anugrah. Buku itu telah antre untuk dibacanya, namun dia masih enggan
pindah sebelum menyelesaikan Seni untuk Bersikap Bodo Amat yang dialihbahasakan
dengan anggun oleh F. Wicaksono yang dia pinjam dengan sedikit paksaan dari
seorang teman.
Sang peminjam buku juga
berada di sini sepagi ini. Kamis ini masih pagi, barangkali pukul 8, jam di
ruangan rusak sejak sebulan lalu, juga kipas angin, juga engsel pintu, juga
beberapa otak orang-orang di sana mirip otaknya. Namun mereka semua bahagia.
Waktu tidak terasa
telah pukul tiga sore. Pagi dan siang selalu habis dilahap kopi dan rokok. Dia
tahu itu kebiasaan buruk, namun dia juga merasa sepadan dengan obrolan yang
tidak akan didapatkannya dalam ruang perkuliahan.
“Jangan banyak-banyak
merokok—“
“Diam, Teman. Surya ini
memberi penerangan dalam diriku.”
“Bodoh. Kamu itu
sinting tapi jangan sakiti tubuhmu. Kamu sudah mirip orang dengan obat bius
dosis tinggi kemudian menusuk dan mengirisi kulit sendiri. Nggak sadar sedang
menyakiti tubuh!”
Dia terdiam. Temannya
sedang diambang setengah marah dan puncak marah. Ada sesuatu yang bicara dalam
tubuhnya, Ya! Aku tahu dan sadar
sepenuhnya sedang menyiksa diri. Kau hanya belum tahu betapa sakit dan berat
beban hidupku. Kau hanya tahu namaku, wajahku, sikap berengsek yang telah
kusepakati untuk kuambil. Setidaknya aku merasa dengan merokok mengurangi siksa
dari hidupku selain di sini. Kau tidak tahu apa-apa, berengsek kau!
Dia tidak menjawab
temannya, membiarkan marahnya surut dengan sendirinya. Kemudian dia beranjak,
mengatakan dengan keras di depan wajah temannya, “Berengsek kau! Cok!”
Kemudian pergi. Keluar
dari warung kopi dia tersenyum. Temannya yang dimaki juga tersenyum. Mereka
menyadari dan sepakat, bahwa semua kejadian telah direncanakan. Siang itu,
mereka tetap bahagia.
*
Selepas pukul tiga, dia
ikuti diskusi rutin di dalam kampus. Sebenarnya urusannya dengan kampus sudah
hampir tidak ada. Dia hanya suka memandangi wajah-wajah anak baru yang
membencinya, juga senang melihatnya berkembang.
Diskusi berjalan
seperti biasa, tidak ada yang membuat gaduh selain dirinya. Acara itu diakhiri
ketika muazin bersiap mengumandangkan azan magrib di musala kampus. Pada
saat-saat seperti itu rokoknya tiada berhenti bertengger di jarinya. Menghalau
ajakan dirinya yang bersemayam di dalam tubuh untuk bunuh diri.
Setelah magrib dia
berjalan di kampus itu. Mendapati organisasi yang sedang jemaah membaca yasin.
Dia menunggu acara itu selesai, kemudian ikut makan hidangannya. Begitulah,
uang di saku jaket hanya untuk beli rokok, masalah makan selalu ada rejeki dari
Tuhan.
Lelaki yang sama-sama
lapuk dengan rambut gondrong menemuinya, mengajaknya membicarakan tentang
peringatan hari puisi sedunia. Dia tertarik, dipanggilnya beberapa teman lain
untuk membeli anggur kesukaannya.
Saat orang-orang di
sana membentuk lingkaran untuk membahas Larung dan Ayu Utami, dia sibuk dengan
komputer. Mulai menulis ulang puisi dari angkatan BP dan pujangga baru. Dari
Indonesia Tumpah Darahku karya Muhammad Yamin, Teratai karya Sanusi Pane,
Menuju ke Laut karya Sutan Takdir Alisyahbana, serta Padamu Jua karya Amir
Hamzah.
Waktu masih ada, dia
ketik ulang juga puisi-puisi angkatan 45 dan generasi kisah. Aku dan
Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar, Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Sudarto
Bachtiar.
Puisi-puisi itu dia
cetak. Dia beranjak dari depan monitor membawa kertas-kertas, ternyata bahasan
tentang Larung belum kelar, dia ambil uang dan belanja anggur dan lilin.
Malam itu menjadi
panjang. Ada melodi, nada, irama, tempo. Ada puisi dan lagu. Ada rasa bahagia
dan pura-pura. Orang-orang ternyata telah menyiapkan puisi, beberapa mengambil
milik Rendra, Thukul, Saut, H Niskala, dan juga puisinya sendiri.
Perasaannya meledak
kala mendengar puisi-puisi dibacakan, dan dia mendengar dengan khusyu sambil
setengah mabuk. Malam belum berakhir, yang paling dia sukai ketika peluh yang
bau di tangan berpadu dengan aroma harum anggur tuangan.
Sementara hujan di
rumahnya belum berakhir sejak kemarin. Dia tidur hampir subuh. Pulang pada sore
hari dan mendapati halaman rumahnya penuh dengan air, juga halaman rumah
tetangganya, juga halaman seluruh rumah di desanya. Tapi dia tetap bahagia
sebab menyadari dan sepakat bahwa semua kejadian telah direncanakan. Lagi-lagi,
hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya, terdengar dari dalam
tubuhnya. Belakangan dia mulai risih dengan suara itu. //
4 Comments
Warna tulisanmu menjadi berbeda. Aku sangat suka.
ReplyDeleteMakin gelap? Padahal saya ingin menulis yang jenaka, atau tentang hewan, atau tanaman, atau batu. Asal selain manusia, tapi ya bagaimana haha
DeleteTidak, lebih cerah dan lembut
DeleteHaha, aku merasa terancam :-#
Delete